Gabung Tuwaga Club! dapatkan tools
finansial senilai Rp300rb GRATIS!

Gabung Sekarang
/
/
/
Belajar Dari Band Sukatani: Berani Bersuara, Kebebasan Dipertaruhkan

Belajar Dari Band Sukatani: Berani Bersuara, Kebebasan Dipertaruhkan

Ditulis oleh
 279 views
Terakhir diupdate Fri, 21 February 2025
kasus band sukatani

Seperti diberitakan CNN Indonesia, band punk lokal, Sukatani, lagi rame banget dibahas gara-gara lagu mereka, Bayar, Bayar, Bayar, yang dianggap nyindir kepolisian. Akibatnya, lagu ini dihapus dari Spotify, dan yang lebih parah, sang vokalis Novi Citra sampai dipecat dari profesinya sebagai guru!

Kasus ini bikin banyak orang bertanya: sejauh mana risiko yang harus diterima ketika seorang musisi berani bersuara lantang? Dan kalau sampai kehilangan pekerjaan utama, apakah musik benar-benar bisa menopang hidup, terutama bagi musisi indie atau punk yang bergerak di jalur independen? Yuk, bahas bareng Tuwaga di sini.

Apa Isi Lagu Bayar, Bayar, Bayar?

Lagu Bayar Bayar Bayar dari Sukatani nyentil keras soal pungutan liar dan dugaan korupsi di kepolisian. Liriknya blak-blakan ngegambarin gimana masyarakat sering banget kena “tarikan” buat urusan yang seharusnya gratis. Mulai dari bikin SIM, ngurus laporan kehilangan, sampai kalau mau keluar dari sel, semuanya ada “tarifnya”.

Nggak cuma itu, lagu ini juga nyinggung soal suap buat masuk kepolisian, penggusuran paksa, dan kerusakan lingkungan yang diduga ada campur tangan aparat. Intinya, kritik pedas tentang “apa-apa harus bayar” kalau urusannya sama polisi. Nggak heran kalau lagu ini jadi rame dan akhirnya lenyap dari platform streaming.

Bersuara Keras di Indonesia? Siap-Siap Taruhannya Besar!

Kebebasan berpendapat di Indonesia memang dijamin oleh konstitusi, tapi pada praktiknya, nggak semua suara bisa bebas tanpa konsekuensi.

Banyak contoh kasus di mana seseorang yang berani mengkritik kebijakan atau institusi tertentu justru harus menghadapi berbagai tekanan, mulai dari serangan digital, intimidasi, hingga kehilangan pekerjaan.

Kritik = Risiko?

Kasus Novi Citra vokalis Sukatani yang kehilangan pekerjaannya sebagai guru gara-gara lagunya yang dianggap nyindir kepolisian, bukan satu-satunya. Sebelumnya, banyak musisi, aktivis, dan jurnalis yang juga mengalami hal serupa ketika berani mengkritik lewat karya mereka. Beberapa di antaranya bahkan harus berurusan dengan hukum atau mengalami pembatasan ruang gerak.

Ketika suara kritis dianggap sebagai ancaman, banyak orang jadi mikir dua kali sebelum bersuara. Apakah tetap menyuarakan kebenaran, atau memilih diam demi keamanan dan kestabilan hidup?

Dampak Finansial ke Vokalis

Gara-gara kasus ini, Novi Citra vokalis Sukatani kehilangan pekerjaannya sebagai guru. Kalau musiknya belum cukup menghasilkan untuk menopang hidup, tentu ini jadi pukulan berat.

Sebagai musisi punk di Indonesia, pemasukan biasanya datang dari:

  • Gig & tur: Tapi kalau ada tekanan sosial atau larangan manggung, ini bisa terhambat.
  • Streaming & royalti: Tapi dengan lagu dihapus dari Spotify, sumber ini juga berkurang.

Kalau Novi Citra belum punya cadangan finansial atau pemasukan lain, situasi ini bisa bikin dia harus cari cara lain buat bertahan. Yang jelas, kejadian ini makin nunjukin kalau hidup dari musik underground di Indonesia itu nggak gampang, apalagi kalau sampai kena imbas sosial dan politik.

Bisa Nggak Sih, Monetisasi Jadi Alternatif?

Monetisasi bisa jadi solusi, tapi nggak instan. Musisi punk biasanya nggak terlalu ngandelin platform digital kayak YouTube, Spotify, atau Bandcamp karena beberapa alasan:

  • Pendapatan dari streaming kecil: Kecuali punya jutaan stream, penghasilannya nggak signifikan.
  • Fanbase segmented: Musik punk punya audiens loyal, tapi nggak selalu besar.
  • Kontroversi bisa jadi hambatan: Kalau kena takedown atau shadowban, makin sulit dapet cuan.

Meski musisi indie dapet royalti lebih besar dari Spotify (karena nggak ada label yang potong), tetap aja kecil. Misalnya, untuk dapet gaji Rp5 juta/bulan, butuh sekitar 100.000 stream per bulan, dan itu nggak gampang buat musisi indie, apalagi di skena punk.

Pendapatan Guru SDIT vs Musisi Independen

1. Guru SDIT

Gaji guru SDIT di Indonesia bervariasi tergantung yayasan dan lokasi, tapi rata-rata:

  • Gaji pokok: Rp2 juta–Rp5 juta/bulan.
  • Tunjangan: Bisa ada tambahan, tergantung kebijakan sekolah.
  • Stabilitas: Pendapatan tetap setiap bulan.

Sebagai profesi, guru SDIT menawarkan keamanan finansial, meskipun gajinya relatif kecil dibanding sektor lain.

2. Musisi Independen

Pendapatan musisi indie sangat fluktuatif dan tergantung pada berbagai faktor, seperti jumlah pendengar dan sumber pemasukan lain.

  • Streaming Spotify: Rp50 per stream
    • Butuh 100.000 stream/bulan untuk Rp5 juta
    • 1 juta stream ≈ Rp50 juta
  • Manggung: Rp500 ribu–Rp5 juta per show

Sebagai musisi indie, potensi pendapatannya bisa jauh lebih besar dari guru SDIT, tapi nggak stabil. Kalau punya fanbase besar dan rajin manggung, penghasilannya bisa lebih tinggi dan mampu menopang biaya hidup sehari-hari. Tapi kalau masih kecil atau kena teror dari polisi kayak kasus vokalis Sukatani, bisa sulit bertahan.

Jadi, gimana menurut kamu? Apakah kebebasan berpendapat di Indonesia benar-benar ada, atau masih penuh risiko? Dan kalau musik bisa jadi alat perjuangan, apakah cukup kuat buat menopang hidup?

Bagikan ke

Tentang Penulis

Ikuti Sosial Media Tuwaga

Info terbaru tentang finansial dan Tuwaga

Scroll to Top

Ubah profil?

Yakin ingin menyimpan perubahan profil?