Penyanyi dan penulis lagu Nadin Amizah kembali menarik perhatian publik, kali ini bukan karena karya musiknya, melainkan karena kekecewaannya terhadap film berjudul Bertaut Rindu. Film tersebut menuai protes dari Nadin karena menggunakan penggalan lirik dari lagunya “Bertaut” sebagai judul tanpa izin.
Melalui media sosial dan pernyataan di berbagai wawancara, Nadin menyuarakan keberatannya dengan nada tegas dan emosional. Tak sekadar soal izin, kekecewaan Nadin menyentuh banyak aspek penting, termasuk penghargaan terhadap hak cipta, makna personal dari karya seni, dan etika profesional dalam industri hiburan.
Berikut ini lima alasan utama mengapa Nadin Amizah mengkritik penggunaan judul Bertaut Rindu secara terbuka:
💡 Jadi Poinnya…
- Penggunaan Lirik Tanpa Izin Itu Masalah! Lirik lagu “Bertaut” milik Nadin Amizah digunakan tanpa izin untuk judul film, yang jelas bikin kecewa karena ini melanggar hak cipta.
- Nadin Sudah Menolak, Tapi Tetap Dipakai: Meskipun Nadin sudah menegaskan penolakan, pihak film tetap melanjutkan penggunaan liriknya. Etika komunikasi dalam industri kreatif sangat penting!
- Karya Seni Harus Dihargai, Jangan Sampai Terkelola Semena-mena: Nadin ingin edukasi publik soal pentingnya hak cipta, supaya kreator dihargai dan karya seni nggak disalahgunakan tanpa izin.
1. Penggunaan Lirik Lagu Tanpa Izin Resmi
Judul Bertaut Rindu berasal dari lirik lagu Nadin Amizah yang berjudul “Bertaut”, tepatnya dalam bait:
“Raguku tumbuh, pelan-pelan bertaut rindu“
Bagi Nadin, lirik adalah bagian dari karya seni yang ia ciptakan dengan sepenuh hati. Ia menyampaikan bahwa penggunaan bagian dari lagu sebagai judul film tanpa izin resmi adalah tindakan yang melanggar hak cipta. Menurut Nadin, pihak produksi tidak pernah menghubunginya atau meminta izin untuk menggunakan lirik tersebut.
“Kalau kamu suka lirikku, boleh. Tapi tanya dulu. Jangan ambil begitu saja, apalagi buat komersil,” tulisnya melalui akun Instagram pribadinya.
Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal penghargaan terhadap karya cipta.
2. Nadin Sudah Menolak Sejak Awal, Tapi Tetap Dipakai

Dilansir dari Kompas.com, meski sempat ada pembicaraan awal, Nadin Amizah menegaskan bahwa tidak pernah ada izin resmi yang ia berikan kepada pihak produksi film Bertaut Rindu.
Dalam unggahan Insta Story-nya, Nadin membagikan tangkapan layar percakapan WhatsApp dengan manajernya—yang juga merupakan ibunya sendiri—pada 24 Februari 2025. Dalam percakapan tersebut, tampak bahwa ada pihak produksi film yang sempat mengajukan niat untuk menjadikan lagu “Bertaut” sebagai inspirasi cerita film mereka.
Namun, Nadin secara tegas menolak permintaan tersebut sejak awal. Ia menuliskan:
“Tapi tolong dijelasin dulu sekali lagi bahwa Nadin enggak ada niatan untuk pakai lagu ‘Bertaut’ atau mengizinkan penggunaan judul maupun lagu ‘Bertaut’ ya bun,” tulis Nadin kepada sang ibu yang juga mengelola kariernya.
Meskipun sudah menolak, Nadin kemudian dikejutkan oleh kemunculan film berjudul Bertaut Rindu: Semua Impian Berhak Dirayakan. Dalam unggahan lanjutan, ia mengekspresikan keterkejutannya saat menyadari bahwa film tersebut seolah merujuk langsung pada pendekatan awal yang pernah dilakukan tim produksi.
“Ini persis yang waktu itu minta judul seperti detak jantung yang bertaut ya?” tulis Nadin dalam percakapan dengan ibunya.
Hal ini memperkuat kekecewaannya karena pihak film tetap melanjutkan penggunaan kata “bertaut” meski sudah mendapatkan penolakan secara eksplisit sebelumnya. Bagi Nadin, keputusan untuk tetap memakai judul yang mengandung unsur dari karyanya tanpa kesepakatan menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap proses komunikasi dan batas-batas profesional.
Meskipun Nadin menyadari bahwa kata “bertaut” maupun frasa “semua impian berhak dirayakan” bukan miliknya secara hukum karena berasal dari Bahasa Indonesia atau ekspresi umum, ia tetap menyayangkan tidak adanya sikap saling menghargai.
3. Lagu “Bertaut” Memiliki Makna Personal yang Dalam
Lagu “Bertaut” bukan lagu sembarangan bagi Nadin. Ia menciptakan lagu ini sebagai bentuk penghargaan, cinta, dan kedekatan emosional terhadap ibunya. Lagu ini menggambarkan perjuangan hubungan ibu-anak yang tidak selalu sempurna namun penuh kasih dan pemahaman.
Penggunaan lirik dari lagu ini di luar konteks, apalagi untuk kepentingan film fiksi yang tidak ada hubungan dengan cerita pribadi Nadin, dianggapnya sangat mengganggu secara emosional. Bagi Nadin, lirik tersebut lahir dari luka dan cinta yang mendalam—dan bukan sesuatu yang bisa diambil begitu saja untuk menjadi “hiasan” komersial.
“Itu lagu tentang ibu saya. Tentang hubungan kami yang rumit tapi penuh cinta. Saya tidak ingin orang lain menggunakannya seenaknya,” ungkapnya.
Baca Juga: 10 Film & Drama Mirip Film “Sore: Istri dari Masa Depan”, Wajib Nonton!
4. Kekhawatiran Akan Komersialisasi Karya Tanpa Pengakuan
Nadin mengangkat isu yang lebih luas dari sekadar dirinya. Ia menyinggung praktik yang kerap terjadi di industri hiburan, di mana karya-karya kreator digunakan secara sepihak untuk tujuan komersial tanpa kompensasi atau penghargaan yang layak. Ia menegaskan bahwa hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan.
Ketika lirik atau kutipan digunakan sebagai elemen promosi, seperti judul film, hal tersebut berpotensi meningkatkan nilai jual dari produk tersebut. Namun jika pemilik lirik tidak diberi penghargaan—baik berupa royalti, pengakuan, atau izin tertulis—itu termasuk bentuk eksploitasi karya kreatif.
“Saya tahu nilai kata-kata saya. Saya tulis dengan hati. Saya tidak akan diam saat kata-kata itu dijadikan alat jual tanpa penghargaan,” tulis Nadin dalam sebuah story.
5. Mengedukasi Publik Tentang Pentingnya Hak Kekayaan Intelektual
Terakhir, protes Nadin bukan hanya tentang dirinya. Ia ingin menyuarakan pentingnya edukasi soal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. Banyak pihak yang belum memahami bahwa lirik, lagu, puisi, maupun karya seni lainnya dilindungi hukum, dan tidak bisa digunakan tanpa izin hanya karena tersedia di ruang publik.
Dengan menyuarakan keresahannya secara terbuka, Nadin berharap masyarakat, terutama pelaku industri kreatif, lebih memahami dan menghargai proses penciptaan karya seni. Ia juga berharap ini menjadi momen refleksi agar seniman muda tidak segan menuntut haknya.
“Ini bukan tentang saya saja. Ini tentang bagaimana kita harus mulai menghargai proses kreatif sebagai sesuatu yang sah, yang punya hak, dan punya batas,” katanya.
Kritik Sebagai Upaya Meluruskan Etika
Nadin Amizah memilih untuk bersuara bukan karena ingin memperkeruh suasana, melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik tidak etis yang sering kali menimpa para seniman. Ia menggunakan suaranya untuk menegaskan bahwa karya seni tidak boleh dianggap remeh atau gratis hanya karena sudah dikenal publik.
Kasus Bertaut Rindu menjadi contoh nyata bahwa di era digital ini, kesadaran akan hak cipta dan etika profesional dalam menggunakan karya orang lain perlu terus digaungkan. Kritik Nadin bukan sekadar kemarahan, tetapi panggilan untuk perubahan yang lebih adil bagi seluruh pelaku industri kreatif.
Menghargai Karya Seni Itu Penting!
Nah, melalui cerita kecewa Nadin Amizah ini, kita jadi tahu pentingnya menghargai karya seni dan menjaga etika dalam industri kreatif. Bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang rasa saling menghargai antara kreator dan pihak lainnya.
Kalau kamu juga ingin belajar lebih banyak soal hak cipta atau cari produk keuangan yang aman dan sesuai prinsip syariah, cek Tuwaga! Ada berbagai produk finansial yang bisa kamu akses, mulai dari dana tunai, kartu kredit, tabungan, hingga aplikasi produk keuangan lainnya. Jangan lewatkan promo menarik di TuwagaPromo!


















































