Kartu kredit kini sudah jadi bagian dari kehidupan modern. Praktis, bisa dipakai di mana saja, dan sering kali datang dengan promo menggiurkan seperti cashback, poin reward, sampai cicilan 0%. Tapi, di balik kemudahan itu, muncul satu pertanyaan besar yang sering bikin banyak orang ragu, apakah kartu kredit halal menurut Islam? Dan kalau kita pakai cicilan 0%, apakah itu termasuk riba?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami dulu bagaimana sistem kerja kartu kredit dan seperti apa hukum Islam memandang praktik transaksi yang melibatkan bunga atau tambahan pembayaran. Yuk, bahas satu per satu dengan santai dan jelas biar nggak salah paham.
💡 Jadi, Poinnya…
- Cicilan 0% Bisa Halal, Asal Harga Sama: Kalau harga cicilan sama dengan harga tunai dan nggak ada tambahan bunga, maka hukumnya boleh.
- Kenali Akad & Biaya Kartu Kreditmu: Pastikan semua biaya transparan dan nggak ada bunga tersembunyi. Kalau ragu, kartu kredit syariah bisa jadi pilihan aman.
- Disiplin Bayar Tagihan Itu Kunci: Bayar lunas sebelum jatuh tempo, biar terhindar dari bunga dan riba. Praktis tetap bisa, asal disiplin.
Apa Itu Kartu Kredit?
Kartu kredit adalah alat pembayaran yang memungkinkan kamu bertransaksi tanpa harus punya uang tunai saat itu juga. Bank akan menalangi dulu pembayaranmu, dan kamu wajib mengembalikannya di kemudian hari, biasanya di akhir periode tagihan (billing cycle).
Misalnya, kamu belanja Rp1 juta pakai kartu kredit. Bank langsung membayarkan ke toko, dan kamu cukup melunasinya ke bank saat tagihan datang. Kalau kamu membayar penuh sebelum jatuh tempo, biasanya tidak ada bunga tambahan. Tapi kalau kamu hanya membayar sebagian, sisanya akan dikenai bunga—dan di sinilah isu riba mulai muncul.
Hukum Dasar Kartu Kredit dalam Islam
Dalam Islam, prinsip utama keuangan adalah larangan riba (tambahan atau bunga) dan keadilan dalam transaksi. Riba dilarang karena dianggap merugikan salah satu pihak dan bertentangan dengan prinsip tolong-menolong yang adil.
Riba secara sederhana bisa diartikan sebagai tambahan dalam transaksi pinjam-meminjam yang tidak dibenarkan oleh syariat. Dalam konteks kartu kredit, bunga yang dibebankan kepada nasabah bila tidak membayar lunas tagihan tepat waktu bisa dikategorikan sebagai riba.
Jadi, kalau kartu kredit digunakan dan menimbulkan bunga karena keterlambatan pembayaran atau cicilan berbunga, maka hukumnya bisa jatuh ke dalam riba. Namun, bukan berarti semua bentuk penggunaan kartu kredit otomatis haram. Banyak ulama dan lembaga fatwa membedakan antara akad utama kartu kredit dan mekanisme penggunaannya.
Pandangan Ulama dan Fatwa Tentang Kartu Kredit
Beberapa lembaga keuangan syariah dan dewan ulama telah membahas hukum kartu kredit secara mendalam. Misalnya, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) melalui fatwanya menjelaskan bahwa kartu kredit bisa digunakan selama tidak mengandung unsur riba, gharar (ketidakjelasan), dan maisir (unsur perjudian).
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card, penggunaan kartu kredit syariah diperbolehkan dengan syarat:
- Tidak ada bunga (interest) seperti kartu konvensional.
- Dikenakan biaya keanggotaan atau jasa, bukan bunga.
- Transaksi tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat (misalnya pembelian minuman keras, perjudian, dan sebagainya).
Jadi, kartu kredit secara konsep boleh digunakan, asal akad dan sistemnya sesuai syariah. Kartu kredit syariah sendiri biasanya menggunakan akad qardh (pinjaman tanpa bunga) dan ijarah (biaya jasa). Bank memberikan fasilitas pembayaran, lalu menarik biaya administrasi tetap tanpa ada tambahan berbentuk bunga.
Lalu, Bagaimana dengan Cicilan 0%?
Nah, ini bagian yang paling sering bikin bingung banyak orang. Program cicilan 0% terdengar menarik karena kita bisa mencicil tanpa bunga. Tapi apakah benar-benar bebas dari riba?
Secara konsep, cicilan 0% bisa halal jika tidak ada tambahan biaya dari pihak bank dan harga barang yang dicicil sama persis dengan harga tunai. Dalam kondisi seperti ini, transaksi hanya berupa penundaan pembayaran (ta’jil), bukan pinjaman berbunga.
Namun, kalau ternyata harga barang saat dicicil lebih tinggi daripada harga tunai, atau ada biaya tambahan tersembunyi dari pihak bank, maka unsur riba bisa muncul. Karena ada “kelebihan pembayaran” yang sifatnya bukan karena jasa, tapi karena penundaan waktu.
Contohnya begini:
- Harga tunai barang: Rp1.000.000
- Harga cicilan 0% selama 3 bulan: Rp1.050.000
Walaupun disebut “0%”, tapi ada tambahan Rp50.000 karena pembayaran ditunda. Nah, tambahan inilah yang bisa dianggap riba nasi’ah, yaitu riba karena penundaan waktu pembayaran dengan nilai lebih tinggi.
Tapi kalau harga tetap sama, misalnya Rp1.000.000 dibayar tiga kali Rp333.333 tanpa tambahan apa pun, maka cicilan seperti ini tidak termasuk riba.
Bagaimana dengan Biaya Lain dari Kartu Kredit?
Kartu kredit seringkali punya biaya tahunan, biaya administrasi, hingga biaya keterlambatan. Dari sudut pandang Islam, biaya yang bersifat jasa (ujrah) seperti biaya administrasi atau keanggotaan masih diperbolehkan, karena merupakan bentuk kompensasi atas layanan yang diberikan bank.
Namun, biaya keterlambatan pembayaran adalah hal yang perlu diperhatikan. Dalam kartu kredit konvensional, keterlambatan biasanya langsung dikenakan bunga tambahan atau denda persentase. Ini termasuk praktik yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena merupakan bentuk riba.
Untuk menghindarinya, kartu kredit syariah biasanya tidak mengenakan bunga keterlambatan. Sebagai gantinya, mereka menerapkan sistem donasi sosial (ta’widh) atau sumbangan ke lembaga sosial untuk menegakkan disiplin pembayaran tanpa mengambil keuntungan dari keterlambatan nasabah.
Mengapa Banyak Muslim Masih Menggunakan Kartu Kredit?
Meskipun hukum riba sudah jelas dilarang, banyak umat Muslim yang masih menggunakan kartu kredit karena alasan kepraktisan. Beberapa di antaranya merasa terbantu untuk mengatur keuangan, menghindari membawa uang tunai, atau memanfaatkan fitur cashless di era digital.
Namun, penting untuk dipahami bahwa penggunaan kartu kredit harus disertai kesadaran dan tanggung jawab penuh. Kalau bisa memastikan selalu membayar lunas sebelum jatuh tempo dan tidak terlibat bunga sama sekali, sebagian ulama membolehkan penggunaan kartu kredit untuk kemudahan transaksi, selama tidak ada unsur riba yang nyata.
Tapi kalau penggunaannya berisiko menimbulkan bunga—misalnya sering telat bayar, hanya bayar minimum payment, atau memakai fasilitas cicilan berbunga—maka praktik tersebut jelas tidak sesuai dengan syariat.
Perbedaan Kartu Kredit Konvensional dan Syariah
Untuk lebih jelasnya, berikut perbandingan sederhana antara kartu kredit konvensional dan syariah:
| Aspek | Kartu Kredit Konvensional | Kartu Kredit Syariah |
|---|---|---|
| Akad | Pinjaman berbunga | Qardh (pinjaman tanpa bunga) & Ijarah (biaya jasa) |
| Sumber Keuntungan Bank | Bunga dari tagihan | Biaya keanggotaan & jasa |
| Denda Keterlambatan | Dikenakan bunga/denda | Donasi sosial (bukan keuntungan bank) |
| Transaksi Terlarang | Tidak dibatasi | Dilarang untuk transaksi non-halal |
| Program Cicilan | Bisa berbunga | Tanpa bunga, harga tetap sama |
Dengan perbandingan ini, jelas bahwa kartu kredit syariah lebih sesuai dengan prinsip Islam, karena terbebas dari unsur bunga dan spekulasi yang berlebihan.
Cicilan 0% Bisa Halal, Asal Sesuai Syarat
Intinya, Islam tidak melarang kemudahan finansial, asalkan dilakukan dengan akad yang jelas, adil, dan tidak merugikan salah satu pihak. Jadi, kalau kamu ingin tetap bertransaksi modern tapi tetap berpegang pada prinsip syariah, pastikan selalu memahami akad dan mekanisme produk keuangan yang kamu gunakan.
Mau tahu lebih banyak tips finansial dan rekomendasi produk keuangan yang bisa bantu kamu kelola uang lebih mudah dan tertata? Cek Tuwaga sekarang! Dari kartu kredit, tabungan tanpa biaya admin, KTA, deposito, hingga pinjaman multiguna, semua ada di sini!















































