Mulai 1 Januari 2026, nasabah asuransi kesehatan nggak bisa lagi berharap semua biaya medis dicover penuh sama perusahaan asuransi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan adanya skema co-payment, di mana peserta harus menanggung minimal 10% dari total klaim.
Menurut Plum Insurance, co-payment adalah skema pembagian biaya klaim asuransi di mana peserta harus menanggung sebagian biaya, misalnya 5% dari total tagihan. Skema ini memang banyak diterapkan di negara maju seperti Austria, Belanda, Prancis, Jerman, dan Swiss.
Aturan klaim asuransi bayar 10% tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.5/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Kebijakan baru OJK ini sontak menuai kritik banyak pihak, dari pemegang polis sampai pengamat asuransi.
Memangnya, kenapa sih, OJK ngebet bikin keputusan ini? Lalu, gimana keuntungan yang bakal diterima nasabah? Bahas bareng Tuwaga di sini, yuk!
1. Alasan OJK
Menurut laporan Global Medical Trend Rates 2025, saat ini Indonesia sedang dilanda inflasi medis tahunan hingga 16,2%, skor yang jauh lebih tinggi dibanding inflasi umum 2,6%. Belum lagi, beban biaya kesehatan yang terus meningkat jadi tantangan bagi industri asuransi.
Buat mengatasi problem tersebut, OJK mencoba mengadakan efisiensi biaya layanan jangka panjang dengan menetapkan skema co-payment. Tujuan utama skema co-payment asuransi ini yaitu:
- Mencegah penggunaan layanan secara berlebihan (moral hazard)
- Mendorong efisiensi dalam konsumsi layanan medis
- Menekan lonjakan premi asuransi di masa depan
- Memastikan layanan asuransi tetap terjangkau.
“Efisiensi ini diharapkan dapat memitigasi dampak dari inflasi medis dalam jangka panjang sehingga biaya kesehatan masih dapat dibiayai secara bersama, baik melalui skema penjaminan nasional maupun melalui skema asuransi komersial,” jelas Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian OJK, seperti dikutip Liputan6.com.
2. Skema Co-Payment Terbaru ala OJK
Skema co-payment asuransi ini berlaku buat produk asuransi kesehatan berbasis penggantian biaya (indemnity) maupun layanan kesehatan yang dikelola (managed care). tapi, asuransi mikro nggak termasuk dalam aturan ini, ya.
Berikut detail skema co-payment menurut OJK:
- Rawat jalan: peserta wajib menanggung minimal 10% (maksimal Rp300.000 per klaim).
- Rawat inap: peserta wajib menanggung minimal 10% ( maksimal Rp3.000.000 per klaim).
Contoh, kalau biaya rawat jalan kamu mencapai Rp 1 juta, maka:
- Kamu harus bayar Rp100.000
- Sisanya Rp900.000 dibayar sama pihak asuransi.
Skema co-payment asuransi nggak berlaku buat produk asuransi yang sudah berjalan hingga masa polis berakhir, ya. Tapi kalau perpanjang, maka wajib menyesuaikan sama aturan terbaru OJK paling lambat 31 Desember 2026.
3. Aturan yang Memberatkan Nasabah
Dilansir Bloomberg Technoz, menurut Analis Asuransi Dedi Kristianto, skema biaya klaim 10% bisa memberatkan peserta. Bukan nggak mungkin, pemegang polis jadi beralih ke BPJS Kesehatan yang perlu ribet saat mau klaim.
“Hal yang tadinya itu sudah tahu beres dikerjakan oleh perusahaan asuransi pada saat membeli polis asuransi kesehatan, oleh karenanya pemegang polis akan berpikir untuk mengakhiri polisnya. Perlu diantisipasi surrender rate yang tinggi pada perusahaan asuransi,” jelas Dedi.
Apalagi, in this economy, sulitnya dapat pekerjaan dan badai PHK yang makin santer hingga pertumbuhan ekonomi hanya 4,87% pada Q1 2025 (lebih rendah dari Q1 2024), masyarakat bakal berpikir ulang soal asuransi dan lebih memilih mengalokasikan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Suara yang sama juga datang dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI). Ketua FKBI Tulus Abadi, menilai aturan klaim asuransi bayar 10% bisa bikin masyarakat enggan pakai produk asuransi, karena manfaat yang diterima jadi nggak sepenuhnya utuh.
Belum lagi kasus gagal bayar klaim dan dugaan korupsi di perusahaan asuransi besar. Dalam kondisi seperti ini, justru muncul aturan baru yang makin membebani pemegang polis.
Tulus juga mengkritik langkah OJK yang menurutnya nggak melibatkan perwakilan konsumen saat menyusun kebijakan ini. Ia menilai, co-payment berpotensi mengurangi hak konsumen yang seharusnya dijamin penuh.
Sikap serupa juga disampaikan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kata Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo, biaya klaim seharusnya jadi tanggung jawab penuh perusahaan asuransi, bukan malah dibebankan ke peserta.
Baca Juga: Panduan Asuransi Jiwa untuk Pemula: Apa Saja yang Perlu Kamu Tahu?
4. Tapi Ada Poin Plusnya Juga
Tapi, pendapat berbeda disampaikan sama pengamat asuransi Irvan Rahardjo. Menurutnya, skema co-payment adalah solusi realistis buat menjaga kesinambungan layanan asuransi.
Ini karena biaya premi asuransi yang tetap, sedangkan co-payment hanya dibayar saat hendak klaim saja. Dilansir Kontan, Irvan juga menambahkan bahwa edukasi perlu digencarkan agar masyarakat memahami bahwa co-payment justru bisa mencegah kenaikan premi yang tinggi dan membatasi penyalahgunaan klaim.
Aturan co-payment memang bisa membawa manfaat jangka panjang, baik bagi peserta maupun perusahaan asuransi. Tapi tampaknya, di kondisi ekonomi Indonesia yang sedang serba sulit ini, skema bayar klaim asuransi 10% dinilai oleh banyak pihak sebagai pemberat pengeluaran buat biaya kesehatan.
Meskipun negara maju menerapkan co-payment, tapi kondisi ekonominya kan, nggak sama kayak Indonesia.
Bijak Menyikapi Co-Payment Asuransi
Kalau kamu masih bingung apakah asuransi kesehatan dengan co-payment masih layak dipertahankan atau tidak, coba evaluasi, seberapa besar manfaat yang kamu dapat dibanding potensi biaya 10% itu? Jangan sampai buru-buru memutuskan tanpa perhitungan matang, ya.
Selain berita terkini, Tuwaga juga punya banyak tips finansial buat kamu yang pengen ngatur keuangan lebih rapi. Mulai dari info kartu kredit, tabungan, deposito, dana tunai kendaraan, hingga pinjaman tanpa jaminan (KTA) pun ada. Cek Tuwaga sekarang, ya 🔎💸